Pages

Sabtu, 07 Januari 2012

Cerpenku "Bumiku Rafflesia"


Bumiku Rafflesia

Siang itu terasa begitu sesak, ditengah kehidupan kota besar yang sempit, Jakarta. Teriknya mentari siang itu menenggelamkan ku pada masa kecilku yang bahagia, 15 tahun yang lalu.
Di sebuah jalan sempit, kumuh tanpa penerangan dimalam hari yang dingin, terdengar deburan ombak yang menghempas beralun – alun. Angin yang sepoi – sepoi membuatku terlarut dalam berbagai mimpi – mimpi akan kota – kota besar, kemegahan dan kemewahan. Terkadang aku berfikir ingin meninggalkan kota ku, kota kelahiranku bumi rafflesia saat aku besar nanti.
Bumi raflesaiku ini terlalu sempit, kumuh dan ketinggalan zaman. Begitulah aku terus memikirkan mimpi – mimpi dan anganku hingga aku terlelap dalam istirahat malamku.
“No, Rano bangun sayang, akap ini kan  kau nak sekolah nak…”  Emak membelai halus rambutku. “Kelak dulu la Mak, Rano masih ngantuk ko..…” mataku berkedip – kedip tanda masih setengah sadar dan  enggan untuk bangun.
“Kau ini, Emak udem buekkan kau sarapan kesukaan kau, cepek bangun!” Emak membujukku. Akhirnya aku pun bangun, merentangkan kedua tanganku dan membuka jendela kamarku. Cahaya kemilau menyilaukan mataku dan tampak membayang di permukaan laut yang mengayun ayun akan membuka cakrawala dan menjadi saksi bisu kehidupanku di kota ini, kota Bengkulu.
“La nak berangkat Rano? jangan lupo bawak kepiting goreng ko antarkan ke warung Wak Ani yo nak?” terdengar teriakan Emak dari dapur yang selalu mengingatkan hal yang sama setiap pagi. “ Iyo Mak, Bapak udem berangkat melaut Mak?” tanyaku pada Emak. “Udem, subuh tadi waktu kau tidur” jawab Emak. Aku pun mengambil kepiting goreng yang telah Emak siapkan untuk dijual dan pergi ke sekolah. “Sayo pergi yo Mak, assalamu’alaiku” aku berpamitan. “Wa’alaikumsallam, hati – hati yo nak..” Emak berpesan.
“Pantai Panjang pantainya sukma pantai nan elok tempek tamasya, sejak dahulu pantai Bengkulu di hari minggu orang ke situ….” Lagu ini amat ku suka,apa lagi aku seorang anak pesisir pantai yang selalu menyaksikan panorama Pantai Bengkulu. Saraya mengayuh sepeda bututku menuju gudang cakrawalaku aku bernyanyi riang sepanjang jalan. Warung Wak Ani berada disebuah kios tua di Kampung Cina, 5 menit jika bersepeda dari rumahku. Menurut buku yang aku baca Kampung Cina terletak pada koordinat 3°47’15,9” LS  dan 102°15’2,6” BT.
Apa kalian tau mengapa tempat itu disebut Kampung Cina? Dulu kawasan ini merupakan pemukiman Cina sejak masa Kolonial Inggris. Tampak berbagai rumah berarsitektur Cina di sini, Wak Ani juga keturunan Cina. “ Haiya lo Rano pagi – pagi sekali sudah datang, mau menitipkan kepiting goreng lagi ya?” dengan logat Cinanya yang kental, entahlah logat itu terdengar sedikit menggelikan ditelingaku. “Iyo Wak, nanti siang sayo datang lagi yo Wak, ngambik yang la laku” ujarku. “Oe salut kamu anak yang rajin ha, belajar yang rajin ya” Wak Ani memuji sekaligus menasihatiku.
Ku kayuh lagi sepedeku menuju sekolah ku yang juga tidak terlalu jauh dari kawasan Kampung Cina, sekolahku SD Negeri 1 Kota Bengkulu. Bel berbunyi tepat 5 detik setelah aku memasuki pintu gerbang.  Ku pandangi bangunan sekolahku yang tampak kusam, lama tak dipugar. Ku parkir sepedaku di depan taman yang terletak dipojok sudut sekolahku
“Hoi Ucok cepekla” seru Ruben Silalahi. Padahal ia sendiri orang batak, berkulit coklat, bertubuh besar dan berhidung besar. Aku bukan orang batak, tapi wajahku Ruben bilang seperti orang batak, apalagi rahangku yang simetris 4 alias petak dan hidung besarku. “ Yo Bang! Horas!!“ seru ku tertawa berlari menyusulnya. “ Ado PR kito hari ko ?” Tanya Ruben padaku, “Matematika” jawabku singkat. “Matila aku!!!!” ia mendesah seraya menepuk keningnya, hampir setiap hari ia melakukan hal yang sama.
Aku memiliki 2 sahabat karib, kami seperti trio karena kami selalu bersama dan kompak. Ya sahabatku itu adalah si batak Ruben yang kasar dan si Jawa Tresno  yang  halus alias kemayu. Walau pun berasal dari Batak dan Jawa, tapi mereka sudah dari kecil tinggal dan besar di Bengkulu. Kami memiliki latar belakang, kalau bahasa kerennya itu Background yang berbeda tapi kami tetap satu menjunjung tinggi yang namanya “BHINEKA TUNGGAL IKA”. Tresno itu keturunan Sultan Jawa, tanpa dia katakan dia orang Jawa pun orang sudah bisa tahu dari wajahnya yang kalem, kulit yang hitam dan logat Jawa yang kemayu.
“Teng….. Teng…. Teng….” Terdengar lonceng berbunyi 3 kali, pertanda belajar hari ini usai, semua anak berhamburan keluar seperti kumpulan semut. Aku pun begegas pulang. “Ucok! Tresno! Jangan dulu balik” Ruben mamanggil. “Ado acara dak kamu orang hari ko? Sayo nak ajak kamu orang jalan – jalan menyusuri Kota Bengkulu” dengan gayanya yang sedikit sok tetap dengan logat bataknya tapi dalam bahasa Bengkulu, bisa kalian bayangkan? Sangat menggelikan.” Oke ” jawabku dan Tresno kompak.
Pulang sekolah aku langsung bergegas mengambil titipan kepiting goreng di warung Wak Ani dan pulang kerumah. makan siang dan kembali bergegas untuk pergi bersama Ruben dan Tresno. “Ucoook….!!”teriakan Ruben yang menggelegar memanggilku di depan rumahku. “Emak, Rano pegi  dulu yo, assalamua’laikum” ujarku pada Emak. “Iyo nak hati – hati, walaikumsallam” balas Emak. Aku berlari mengambil sepedeku dan menhampiri Ruben.
“Wai keren nian dandanan kau ni ben, silau mato sayo ko” aku menggoda Ruben. Betapa tidak, dia tampak seperti turis nyasar, tapi turis Batak. Aku pun tertawa terbahak – bahak, ia memakai baju orange menyala dan celana merah mencolok, tak lupa pula kaca mata hitam di atas kepalanya. “Yo lah, Ruben gituloh” timbalnya, kami pun tertawa bersama – sama.
Selanjutnya kami pergi ke rumah Tresno, lain Ruben lain pula Tresno. Bisa kalian tebak seperti apa gayanya?? Aha benar banget, kayak orang mau menghadiri acara penting. Baju rapi, celana rapi plus tali pinggang. Dan rambutnya itu loh, disisir rapi belah pinggir dan mengkilat. “Tresnoooooooooooo kito bukan nak ke Undangan!!!”teriakku dan Ruben serentak saat melihat tampangnya itu. Ia hanya tersenyum dan tak mempedulikan kami. “Pela pegi” serunya.
Kami pun memulai perjalanan kami, dimulai dari menyusuri tepi pantai nelayan tempat tinggal kami, menuju pantai yang dikenal dengan nama Tapak Padri. Sebenarnya ada 4 tempat wisata indah yang langsung ada di kawasan ini, yaitu Tapak Padri, Benteng Marlborough, Kampung Cina dan Pantai Jakat. “Hoi hoi ado yang tau dak siapo yang buek Benteng Marlborough ko? Ado yang tau dak???” Tresno mulai menguji pengetahuan kami. “Alaa Tresno sok pintar nian kau ko” timpal Ruben. “Kecek ajo kau dak tau la Ben Ben” ujar ku membalas perkataan Ruben. “ Emang kau tau??” balasnya lagi. “ Sayo memang dak tau, tapi sayo tau Koloni Inggris yang buek, trus  benteng ko merupakan benteng terkuat ke duo di Asia” ujarku, sedikit merasa bangga walaupun tidak bisa menjawab pertanyaan Tresno.
“Sudah – sudah, biar sayo kasih tau, kenal kek Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffless dak? Nah itu yang nyuruh bangun benteng ko, keren dak namonyo??” Tresno mencoba melerai kami. “Padek nian!!” ujarku. “Lanjut ke pucuk benteng kito?” Tanya Tresno. “Lanjut” jawabku dan Ruben bersamaan.
“Oi parkir bae dak sepeda ko di depan gerbang ko?” aku mengusulkan untuk memarkirkan sepeda kami. “ Yo la, pela” jawab Tresno dan Ruben. “Kalo ditengok - - tengok dengan seksama benteng ko elok jugo dak? Tapi sayang idak terkenal jadi jarang orang nak ke siko” ujarku. “Em iyo jugo, Bengkulu idak terkenal, jadi turis idak tau la keindahan kek sejarah wisata disiko” Ruben menimpal. “Tumben Ben kau tau??” Tresno mengejek Ruben yang jarang – jarang peduli dengan pengetahuan. “Apo la kau ni Tres, sayo ko walaupun orang Batak, tapi cinto jugo kek Bengkulu ko” Ruben membela diri.
Kami pun berkeliling, melihat - lihat seisi benteng. Tampak olehku jejeran panjang “bui” tempat para tahanan pada zaman penjajahan. Bui yang sempit, suram dan gelap. Terdapat pula bola – bola semen yang berantai yang berfungsi untuk mengikat kaki para tahanan. Ku pandangi meriam – meriam bekas perang yang tampang gagah dan kuat, mengagumkan. 
“Hoi siko!!!” teriak Tresno dari kejauhan. “Ngapo Tres kau teriak – teriak” jawabku sambil datang menghampiri Tresno. “Dalam penjara ko ado ruang bawah tanah tempek Presiden Soekarno di tahan, padek dak?!” ujarnya. “Wai hebat nian, sayo dak tau kalo dalam penjara ko tempeknyo” Ruben terkagum. “Keceknyo Presiden kito pacak keluar dari ruang bawah tanah tu trus kabur lewat lubang yang tembus ke Rumah Gubernur” cerita ku. “Tau dari mano kau No?” Tanya Ruben. “Emak” jawabku singkat.
Tanpa aku sadari Tresno sudar pergi melihat – lihat isi bentang tanpa mengajak kami. “Eh mano Tresno?” aku bertanya pada Ruben. “Tu nah la naik ke pucuk benteng ko” jawab Ruben. Aku dan Ruben naik ke atas benteng, ku lihat Tresno sedang memandang kearah Pantai Tapak Padri sambil senyam – senyum, aku pun jadi penasaran, apa sih yang dari tadi dilihantnya. “Eh kau nengok apo Tres dari tadi senyam – senyum senyam senyum sayo perhatikan, pinjamlah teropong kau tu, sayo jugo nak nengok apo yang kau liek tu” Tanyaku pada  Tresno. Tapi Tresno hanya diam terpaku, nampaknya ia terpesona melihat isi teropongnya.
Ku rebut teropongnya, ia nampak kesal namun memberikan teropongnya. Ku lihat dengan seksama apa yang membuat Tresno tersenyum. Perlahan lahan dalam teropong itu muncul sesosok yang indah, seorang anak perempuan cantik. Rambutnya panjang sepinggang tertata rapi lurus dan hitam. Tampak ia membalikkan tubuhnya, seakan akan melihat ke arahku, apa hanya perasaanku saja. Terlihat jelas olehku wajahnya yang putih mulus, pipinya yang merah muda, bibirnya yang tipis kemerahan bagai cabai segar tersenyum tipis melengkung. Hidungnya yang kecil namun mancung dan matanya yang sipit, menandakan ia keturunan Cina. Sungguh sangat cantik, bagaikan bidadari.
“Tres alangkah indahnyo pemandangan ko, widih mantap!!” seruku terpesona. “Apola yang kalian tengok tu? Sini gantian, sayo jugo nak nengok?” seru Ruben yang juga tampak penasaran. Aku pun memberikan teropong padanya. Kemudian ia mengatakan hal yang mengagetkanku dan Tresno. “Alaaah gadis cantik itu kan? Itu Mei Mei dari kelas 5 B” ujarnya. “Maso? Kok sayo dak pernah nengoknyo dak?” Tresno bertanya. “Dia memang jarang  keluar kelas, lagi pulo beda kelas dengan  kito, anak baru pulo di sekolah kito “Harus kenalan ko!!” ujarku percaya diri. “Dasar kau ni!!” Ruben dan Tresno mengacak – acak rambutku yang keriwil.
“Sudah – sudah, kito lanjutkan la perjalanan kito” ujarku mencoba mengelak. “Kemano tujuan kito selanjutnyo Ben ?” Tanya Tresno pada Ruben. “Emmm” Ruben berfikir dan beberapa detik kemudian ia menjawab, “Pantai Panjang”
Dengan semangat kami mengayu sepeda kami secepat kilat. Dan akhirnya kami tiba di Pantai Panjang, kalo Sir Joko bilang itu “Long Beach”. “Akhirnyo sampai jugo, pantai iko  panjaaaaaaang nian dak” aku mendesah. “Iyo, kato ibu Maimunah pantai panjang itu kiro – kiro 6 KM” Tresno memberitahuku.
Ruben dan Tresno nampak sudah berlari – lari kecil menuju kerumunan ombak yang bergelut. Ku lihat Ruben yang sangat semangat berlari menuju kumpulan pasir putih di pinggiran pantai mengejar seekor kepiting pantai. Ku alihkan pandanganku pada Tresno, ku lihat ia menciprat – cipratkan air laut kemudian mengejar gelutan ombak kecil yang tampak bermain – main.
Sejenak aku terdiam kemudian berbaring di atas pasir putih yang halus, di bawah rindangnya pohon pinus yang berjejer rapi. Aku terhanyut dalam suasana tenang dan sunyi dibuyai angin sepoi – sepoi dan aku terlelap. Masih terbayang dalam bayangku sosok Mei Mei yang beautiful, indahnya. Tiba – tiba terdengar suara besar yang mengagetkanku. “Hooooooi bangun!” teriak Ruben dan Tresno. “Jangan tidur disiko, kito nak lanjut ke tempek selanjutnyo”. “Oke” jawabku singkat.
“Hoi tengok itu ada pulau kecil ditengah laut!” saru Ruben. Apakah kalian tau pulau apa itu? Pulau kecil yang terletak di sebelah barat provinsi Bengkulu. “Itu pulau tikus” lagi – lagi Tresno memberitahu. Aku fikir Tresno ini cocok untuk jadi pemandu wisata kota ini. “Pada masa dahulu pulau ini merupakan tempat kapal-kapal berlabuh untuk berlindung dari hantaman badai ombak laut Samudra Indonesia selain itu juga terdapat beraneka ragam satwa seperti penyu, bangau, burung dara, burung kwak maling, dan masih banyak lagi” Tresno melanjutkan. Tresno memang  pandai.
Selanjutkan kami melawati kawasan Anggut, di perjalanan kami melewati Rumah Bung Karno sewaktu pengasingan pada tahun 1938 – 1942. Nah di Bengkulu inilah Bung Karno bertemu Ibu Fatmawati dan kemudian menikah. Kalian pasti sudah tau kalo yang menjahit bendera merah putih itu Ibu Fatmawati. Sekarang rumah ini udah di jadikan objek wisata. Di perjalanan kami juga melewati rumah Ibu Fatmawati yang bersejarah yang tidak jauh dari rumah pengasingan Bung Karno.
Lama kami mengayuh sepeda, akhirnya kami lelah dan beristirahat. Kami berhenti di salah satu masjid tertua di Provinsi Bengkulu, Masjid Jamik. Kami kemudian solat ashar berjamaah, kecuali Ruben yang berbeda agama dengan aku dan Tresno. Usai solat kami pun melanjutkan perjalanan kami.
Setelah melewati kawasan Anggut dan Prapto kami tiba di Rumah Gubernur. Walaupun hanya dari luar aku dapat melihat kemewahan tempat ini. Bangunan ‘Istana Gubenur’ ini terletak sekitar 300 meter ke arah Utara Benteng Marlborough. Konon cerita pada masanya terdapat terowongan bawah tanah yang menghubungkan Rumah Gubernur ini dengan sisi dalam Benteng Marlborough dengan melalui sisi bawah Tugu thomas Parr. Rumah kediaman yang lebih mengesankan sebagai ’Istana’ ini sangat kental dengan corak arsitektur Eropa. Tiang-tiang besar yang berjajar di sisi depan bangunan mengesankan kekuatan dan kemegahan.
            “Litak nian oi, pegal galo kaki sayo ko” Tresno mengeluh. “Kami ko jugo capek Tres tapi dibawak enjoy ajo lah”aku berusaha menghibur. Kami pun bersenandung di sepanjang perjalanan. “Yo botoi botoi …” aku memulai bersenandung. “Yo tarik tali …” Ruben melanjutkan. “ Mengelok pukek, pasar Bengkulu….” Tresno pun ikut bersenandung. Akhirnya kami pun melanjutkan perjalanan dengan bersenandung riang bersama – sama. “ Yo botoi – botoi, yo tarik tali, mengelok pukek pasar Bengkulu. Uncu perak bebedak bere, duduk di brendo menunggu pak uncu balik, yo botoi botoi, yo tarik tali,m mengelok pukek, pasar Bengkulu” kami bernyanyi disepanjang perjalanan dan kami memutuskan untuk pulang.
            Matahari yang tadinya terik kini mulai melemah, ku lihat awan yang kemerah – merahan karena pembiasan senja sang mentari. Burung – buru kecil mulai beterbangan membentuk  suatu formasi yang unik. Kami pun memutuskan untuk pulang ke rumah masing – masing. Melewati Tugu Hamilton yang berada dipertigaan pantai kawasan anggut. “Helminton adalah  salah satu tentara inggris yang gugur melawan perlawanan rakyat Bengkulu. Untuk mengenang kegigihan dan semangat patriotismenyo  yang tinggi mako Pemerintah Kolonial Inggris di maso itu membangunkan sebuah monumen berbentuk semacam tugu di pesisir pantai Panjang Kota Bengkulu, itu menurut buku yang sayo baco” lagi dan lagi lagi Tresno mengatakan hal yang tak kami tanyakan. Aku fikir ia sok pintar apa lagi nada perkataannya yang sedikit membanggakan  diri. Tapi aku akui dia memang anak yang pandai.
            Perjalanan kami usai sampai disini. Menikmati pemandangan Sunset yang tampak tenggelam dalam pantai lepas. sangat menakjubkan. “ 1 hari yang menyenangkan yo kawan – kawan. Lain kali kito jalan lagi yo” ajakku pada Ruben dan Tresno. “Jangan lupo ajak Mei Mei” Ruben menggoda. “Amanla itu” Tresno ikut menyahut. Kami pun tersenyum geli. “Sampai ketemu besok Tres!” kami mengantar Tresno terlebih dulu. Kemudian aku, dan Ruben pulang terakhir sendiri karena rumahnya yang terletak paling jauh di antara kami.
            Ku ceritakan 1 hari menyenangkan ini pada Bapak yang baru pulang melaut sore tadi. “Kironyo Bengkulu tu indah yo Pak, baru tau Rano sejarah – sejarah wisata Bengkulu ko” cerita ku pada bapak. Bapak tampak tersenyum mendengar ceritaku. “Lain kali Bapak ajak jugo Rano jalan – jalan yo Pak, Rano belum ngunjungi Danau Dendam Tak Sudah, yo Pak?” pintaku merayu. Bapak tampak tersenyum “Rano, kau cinto kek daerah kito ko?” Tanya bapak. “Iyo la Pak, Cintooo nian” jawabku yakin. “ Kalau kau memang cinto, Bapak ingin kalau kau besar nanti, kau bisa membangun Bengkulu ini, Bapak ingin kau jadi pemimpin yang biso membanggakan Bapak dan  memajukan daerah kito Bengkulu” Bapak berpesan padaku. “Iyo Pak, Rano janji” jawabku penuh semangat. Tampak Emak ikut tersenyum melihat aku dan Bapak.
            Terbangunku dalam lelapnya tidurku. Baru ku sadari, mimipi yang telah membawaku ke masa laluku. Dan janji ku pada Bapak. Bapak yang meninggalkan ku dan Emak 10 Tahun lalu. Teringatku pada Ruben dan Tresno, satu hari yang indah jalan – jalan bersama namun dapat mengubah semua pandanganku terhadap kotaku dan perlahan menumbuhkan rasa cintaku pada kampung halamanku. Serta yang terpenting pesan Bapak. Aku janji akan menepatinya. Bapak….. aku akan berjuang, belajar di kota yang ramai ini, dan kembali ke bumi rafflesia dan membanggakan bapak. Rano pasti akan menepati janji Rano Pak.
            Dan angan kecilku untuk meninggalkan kota Bengkulu yang indah, aku fikir itu kesalahan besar. Karena di Bengkulu, aku merasa akan selalu bahagia. Bengkulu tidak sempit tapi lapang, tidak juga bising tapi damai, serta tidak pernah membuatmu sesak tapi akan selalu membuatmu nyaman. Inilah bumiku Rafflesia ….

0 komentar:

Posting Komentar

Mi perfil

Foto Saya
Nadya Purwanty
Vielen Dank für Ihren Besuch auf meiner Blog
Lihat profil lengkapku

Followers